Black Panther (2018)
Satu lagi film dari Marvel Cinematic Universe telah dirilis, Black Panther. Film dengan bintang utama dan hampir seluruh pemerannya adalah orang kulit hitam ini merupakan film kedelapanbelas MCU. Delapan belas! Sulit dibayangkan, bukan? Betapa film-film yang diangkat dari komik Marvel ini mampu menjelma menjadi sebuah semesta yang megah, dan tidak hanya mampu bertahan, tetapi sanggup menjadi film-film yang bermutu tinggi. Ini tentu sebuah fenomena tersendiri di abad ini. Saingan terbesar Marvel, DC, sampai saat ini belum mampu untuk paling tidak memulai hal yang sama. Jadi, pencapaian Marvel, lewat kecemerlangan presiden Marvel Studios, Kevin Feige, sungguh merupakan pencapaian yang luar biasa dalam sejarah perfilman, bahkan mungkin dalam sejarah umat manusia.
Sebagai salah satu jembatan menuju klimaks ‘era pertama’ Avengers dalam film, yakni Avengers: Infinity War, yang juga akan rilis tahun ini, Black Panther terkesan ‘beda’ dari film-film Marvel lainnya. Sebagai film yang didominasi pemeran kulit hitam, dengan latar Afrika, dan penuh dengan nuansa sosial, kolonial dan rasisme, film ini membuka wawasan baru dan isu-isu baru yang mungkin untuk dijabarkan dalam sebuah film superhero. Maka ia seolah terlepas dari dunia Marvel, dan berdiri sendiri dengan tema mandirinya.
Black Panther melanjutkan kisah dari Captain America: Civil War, yakni setelah kematian T’Chaka, raja Wakanda, sang putra mahkota T’Challa melanjutkan kepemimpinan sebagai raja Wakanda. Wakanda digambarkan sangat unik, ia adalah sebuah kerajaan di Afrika, namun mempunyai berkah besar yakni tambang vibranium, logam paling kuat di dunia. Dengan teknologi yang canggih, mereka mampu memanfaatkan vibranium untuk mengembangkan peradaban nan maju. Kostum dan kekuatan Black Panther pun didapatkan dari vibranium dan tumbuhan berbentuk hati, lalu diturunkan dari satu raja ke keturunannya. Hal yang menarik adalah kemampuan sutradara Ryan Coogler meramu sisi modernitas Wakanda dengan sisi ritualitas tradisi khas Afrika. Maka kita mendapatkan gambaran Wakanda yang khas, yang merupakan sebuah dunia utopia yang mungkin tak pernah kita bayangkan selama ini.
Meski maju dan kuat, Wakanda secara tradisi menutup diri dari dunia luar. Alasannya adalah mereka tidak hendak mengganggu tatanan dunia dengan kekuatan militer mereka yang rentan disalahgunakan. Alasan yang sebenarnya rapuh ini menjadi titik tolak jalinan konflik cerita dibangun. Ditambah dengan konflik internal keluarga kerajaan, yakni datangnya ‘musuh tak diundang’ yang hendak merebut tahta, serta konsep revolusional radikal–menggagalkan dominasi dan imperialisme terhadap warga kulit hitam di seluruh dunia–yang dibawa musuh tersebut, mungkin dapat membuat kita berdebat panjang mengenai tumbukan-tumbukan ideologi ini. Dan, di bagian akhir film, dengan apik ia mampu menutup dengan sebuah jalan tengah, yang memediasi konflik ideologis tersebut. Wakanda tidak lagi menutup diri, pun tidak perlu takut teknologi mereka disalahgunakan.
Saya suka warna-warna yang disuguhkan di film ini. Kostum para pemain sangat meriah, tanpa terkesan berlebihan. Sinematografi sangat luar biasa, dengan anggun berhasil memadukan sisi tradisional alami Afrika dengan sisi modernitas dengan teknologi tinggi. Musik juga sangat khas tribal, dengan dentuman drum yang senantiasa menghiasi adegan-adegan laga. Sebagai film superhero, tentu aksi laga yang memikat menjadi sebuah keharusan. Dan Black Panther tidak gagal dalam hal ini. Sebaliknya, berbagai adegan laga yang epik dengan indahnya ditampilkan. Sekuens kejar-mengejar mobil di Korea juga merupakan aksi laga yang mendebarkan dan menawan.
Sebagai film Marvel, tentu tidak lengkap apabila film ini tidak dibumbui oleh unsur komedi. Dan dengan jenius film ini mampu memanfaatkan momen komedi dengan gemilang. Humor muncul secara tak disangka-sangka dan dalam waktu yang sangat pas.
Namun yang paling berkesan bagi saya adalah perjalanan seorang T’Challa dari seorang pangeran menjadi raja. Sebagai pemimpin baru, ia diberi pesan oleh arwah ayahnya bahwa sebagai seorang yang baik hati, T’Challa akan mengalami kesulitan memimpin. Namun setelah semua konflik terselesaikan, di akhir film, kita mendapati T’Challa mampu menunjukkan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Ia telah menjadi lebih bijaksana dan dapat menjadi pemimpin tanpa harus mengikuti dan meniru apa yang telah dilakukan ayahnya. Ia menemukan bahwa memang tidak mudah menjadi seorang pemimpin, tetapi hati yang baik bukanlah faktor penghambat, melainkan faktor penunjang.
8/10
Recent Comments