Justice League (2017)
Justice League tayang di Indonesia. Ya, mulai 15 November kemarin, Justice League resmi muncul di layar lebar. Ini tentu sebuah privilese khusus bagi penggemar film di Indonesia, karena di Amerika sendiri, jadwal rilisnya baru tanggal 17 November mendatang. Film yang dilanda berbagai masalah dalam produksinya ini merupakan film yang digadang-gadang mampu melanjutkan sukses besar Wonder Woman bagi kubu DC Comics dan Warner Bros. Ide menyatukan para superhero DC dalam satu film sebenarnya sudah muncul sejak lama. George Miller sempat memulai produksi film Justice League pada tahun 2007, dan telah mengumpulkan para aktor pemeran tokoh superhero tersebut, namun proyek ini tidak berlanjut. Baru setelah DCEU (DC Extended Universe) dimulai dengan rilisnya Man of Steel pada 2013, Justice League kembali digarap. Namun produksinya tidak berjalan mulus. Setelah review miring terhadap Batman vs Superman: Dawn of Justice dan Suicide Squad, Justice League harus menanggung beban berat untuk melanjutkan sukses Wonder Woman serta mengembalikan DCEU kembali pada ‘jalan yang benar’. Dan memang nada film ini telah diubah menjadi lebih ‘cerah’ dibandingkan gelapnya Batman vs Superman. Namun saat hampir menyelesaikan produksi, sutradara Zack Snyder harus mundur karena tragedi keluarga. Joss Whedon dipanggil untuk menyelesaikan film ini, dan konon dilakukan syuting ulang sebanyak 20% dari seluruh adegan, serta digantinya Junkie XL sebagai komposer dengan Danny Elfman.
Yah, bagaimanapun, pada akhirnya Justice League tayang di Indonesia.
Bagaimana film ini? Bagus atau tidak? Tak pelak, ini adalah pertanyaan yang paling ditunggu jawabannya. Dan, harus dikatakan dengan jujur, film ini tidak seberapa bagus. Kalau kita melihat kondisi produksinya yang terpontang-panting, secara objektif memang wajar bila hasil yang didapat tidak sesuai harapan. Tetapi sekali lagi, ini adalah sebuah film dengan dana luar biasa besar, dan tentu pihak studio tidak akan main-main dengannya. Jadi kita tidak bisa ‘membelanya’ hanya atas dasar simpati.
Justice League melanjutkan plot Batman vs Superman, yaitu tepat ketika Superman tiada setelah melawan Doomsday. Dunia terancam oleh penjahat baru, Steppenwolf, panglima perang antar dimensi yang hendak menyatukan tiga ‘kotak ibu’ untuk membentuk dunia baru yang kelam. Ia dibantu oleh bala tentara ala zombie bersayap, parademon, yang memangsa rasa takut manusia.
Dunia yang ditinggal Superman membutuhkan pahlawan pembela yang mampu melindungi mereka dari para ‘alien’ tersebut. Maka Batman dengan bantuan Wonder Woman, merekrut beberapa ‘metahuman’ yang lain, yakni The Flash, Aquaman dan Cyborg, untuk mengatasi serangan Steppenwolf.
Dengan plot yang sangat simpel seperti ini, sebenarnya film ini dapat membangun lebih banyak kejutan dan konflik. Namun ternyata tidak. Plot yang simpel terus berlanjut hingga akhir film. Karakter masing-masing superhero yang ada juga tidak tergarap dengan baik. Sehingga yang terjadi lebih kurang hanyalah diskusi, aksi laga, diskusi, aksi laga, dan seterusnya hingga pertarungan final melawan Steppenwolf.
Bilapun ada kejutan, kita semua sudah dapat menebak dari awal, yakni *spoiler* bangkitnya Superman dari kematian. Sekali lagi sayang, proses membangkitkan Superman ini pun terkesan datar dan tidak menarik.
Satu-satunya nilai lebih dari film ini adalah munculnya nuansa komedi dari The Flash. Flash terlihat sengaja digambarkan sebagai tokoh yang paling muda dan tidak berpengalaman (mengingatkan kita pada Spider-Man, bukan?), sehingga muncul kekonyolan demi kekonyolan darinya.
Dari segi adegan aksi laga yang disuguhkan, terasa tidak cukup kesan ‘wow’ yang dapat kita nikmati. Bahkan Wonder Woman lebih punya banyak momen ‘wow’ daripada film ini. Dengan banyaknya tokoh protagonis dengan kemampuan masing-masing yang beragam, aksi laga yang ditampilkan seharusnya dapat diolah lebih baik dan mengesankan. Memang kita pasti akan membandingkan aksi pertarungan tim ini dengan aksi di film Avengers maupun Avengers: Age of Ultron. Dan hasilnya adalah, tidak ada hal yang baru yang bisa diberikan oleh Justice League. Sekali lagi, Flash sedikit memberikan nilai plus melalui selingan komikal yang ia tampilkan.
Lalu, Steppenwolf. Steppenwolf adalah salah satu nilai buruk lainnya dari film ini. Tokoh ini tidak terbangun dengan baik karakterisasinya. Ia kelewat datar. Singkat kata, ia tidak menarik sebagai lawan sepadan bagi tim superhero sekelas Justice League.
Kesimpulannya, film ini sedikit lebih baik dari Batman vs Superman, karena nuansa komedi tambahan dari The Flash, dan perubahan nada keseluruhan film yang lebih cerah. Tetapi saya rasa secara kualitas masih jauh di bawah The Avengers, apalagi Captain America: Civil War.
Kita hanya bisa berharap film Aquaman yang dibesut James Wan dapat memberikan harapan baru bagi DC, seperti Wonder Woman lalu. The Batman yang digarap oleh Matt Reeves juga semoga dapat mengimbangi trilogi Batman dari Christopher Nolan, selain tentunya sekuel dari Wonder Woman sendiri.
6/10
Recent Comments