Salah satu film yang memperoleh nominasi Film Terbaik dalam Oscar 2020 ini memang adalah film yang sangat bagus. Menjadi dapat dipahami mengapa Greta Gerwig selaku sutradara dianggap telah diabaikan oleh academy, sebab dengan karya seperti ini, ia sangatlah layak menjadi nominasi. Little Women adalah film yang menutup tahun 2019 dengan manis.

Saya belum membaca novel Little Women yang ditulis oleh Louisa May Alcott (yang merupakan semi biografi dari Alcott sendiri), belum pula menonton adaptasi layar lebarnya yang dibuat tahun 1994. Jadi saya tidak dapat membuat komparasi dengan versi-versi tersebut. Namun hanya melihat versi 2019 ini, saya mendapatkan kesan film yang ‘modern’ bagi sebuah film drama dengan latar era Perang Sipil Amerika.

Modernitas ini dapat dirasakan dari penyajian narasi yang tidak linier oleh Gerwig. Loncatan waktu di sana sini mungkin terasa asing bagi sebagian penonton, tetapi bagi saya hal ini tidak mengganggu, justru di sinilah letak kekuatan film ini. Jalinan narasi yang dibentuk sedemikian rupa melalui plotnya yang melompat-lompat dari masa kini ke masa lalu dan sebaliknya, menunjang penguatan eksplorasi karakter-karakter dalam film ini yang tidak sedikit. Maka dalam durasi film yang hanya 2 jam, semua karakter utama dapat dibangun dengan kuat, detil dan adil. Dan pada akhirnya, untaian narasi dapat berpadu dengan sempurna dan memberikan ending yang kuat.

Film ini mengisahkan kehidupan empat gadis bersaudara keluarga March: Meg, Jo, Amy dan Beth. Narasi dibangun berpusat pada Jo, namun karakter yang lain tetap mempunyai peran yang penting dalam jalinan cerita. Keempat gadis ini hidup sederhana di bawah asuhan ibu mereka, yang dipanggil ‘marmee’, sementara ayah mereka sedang berada di medan perang. Di dalam dinamika kehidupan mereka, muncul karakter Laurie dan kakeknya, tetangga mereka yang kaya. Laurie menaruh hati pada Jo, dan ia dekat dengan keempat gadis ini. Di samping itu ada juga Bibi March yang kaya dan kharismatik dengan celotehan khasnya.

Keempat gadis ini, sang ‘little women’, diperankan dengan sangat baik oleh para aktris yang memerankannya. Namun karakter Jo dan Amy lah yang paling menonjol. Tidak heran Saoirse Ronan yang memerankan Jo, serta Florence Pugh yang memerankan Amy mendapatkan nominasi aktris terbaik dan aktris pendukung terbaik di Oscar kemarin. Selain jalinan narasi yang tidak linier, maka akting para aktris ini juga adalah kekuatan utama film ini.

Selain itu, saya juga perlu mengapresiasi screenplay dari film ini. Sayangnya Greta Gerwig tidak mendapat penghargaan setelah masuk sebagai nominasi screenplay adaptasi terbaik di Oscar lalu. Dialog-dialog yang diucapkan mampu mendarat dengan baik, tidak dibuat-buat, bahasanya cukup sederhana namun mampu menyampaikan pesan dengan jelas. Salah satu contohnya adalah bagaimana Amy menyampaikan pemikirannya: Well. I’m not a poet, I’m just a woman. And as a woman I have no way to make money, not enough to earn a living and support my family. Even if I had my own money, which I don’t, it would belong to my husband the minute we were married. If we had children they would belong to him not me. They would be his property. So don’t sit there and tell me that marriage isn’t an economic proposition, because it is. It may not be for you but it most certainly is for me. Sebuah kesimpulan yang luar biasa bagi sebuah semangat feminis bukan?

Sebagai sebuah kisah tentang ‘menjadi dewasa’, film ini memang banyak berbicara dari sudut pandang wanita. Perjuangan dan kesulitan sebagai wanita menjadi tema yang cukup sentral dalam film ini. Little Women dengan pintar mengolah semua kesulitan ini menjadi sebuah konklusi yang penuh harapan, tanpa terlalu mendramatisir dan dibuat-buat. Seperti ditulis oleh The Gospel Coalition: Little Women wrestles. It wrestles with various aspects of the human condition—and of being a woman in particular—that transcend its characters and its time. Pada akhirnya, pesan utama film ini bagi saya adalah tentang cinta dan harapan. Mencintai dan dicintai, memerlukan komitmen dan pengorbanan. Mencintai di sini bukan saja mencintai orang lain, tetapi juga mencintai apa yang kita lakukan, misalnya pekerjaan kita. Niscaya dengan mencintai dan dicintai, harapan akan selalu ada.

9/10