Beberapa film begitu bagus dan mempunyai kesan yang sangat mendalam, yang membuat Anda tak henti memikirkannya. Pengaruh seperti itulah yang saya dapatkan seusai menonton Philomena.

Saya sudah mengetahui film ini sejak ia termasuk dalam deretan film terbaik tahun 2013. Nominasi Oscar sebagai best picture juga telah disandangnya. Namun saya sama sekali buta mengenai cerita apa yang mau disampaikan oleh film ini, karena memang saya belum membaca informasi tentang itu. Sehingga saya menonton Philomena dengan pikiran kosong dan tanpa ekspektasi apa-apa. Dan setelah selesai, saya dibuatnya sangat sangat terkesan.

Philomena diangkat dari kisah nyata, tentang seorang ibu bernama Philomena Lee, yang kehilangan putranya saat ia berusia balita. Putranya lahir akibat hubungan yang ‘terlarang’ yang ia lakukan saat ia tinggal dalam sebuah biara Katolik. Para suster pimpinan biara sangat tidak mentoleransi dosa tersebut, sehingga putranya harus berada dalam tangan para suster, bukan diasuh oleh Philomena sendiri, yang harus bekerja seharian di biara tersebut. Ia hanya diberi waktu satu jam per hari untuk bisa bertemu dengan putranya. Sampai suatu hari putranya harus dibawa pergi darinya, hidup dengan sebuah keluarga yang mengadopsi putranya itu.

Ini adalah landasan kisah yang terjadi di masa lalu yang ditampilkan lewat flashback. Philomena merahasiakan peristiwa ini hingga 50 tahun. Ketika ia tua inilah, ia membuka rahasia ini pada putrinya. Putrinya secara kebetulan mencoba meyakinkan seorang wartawan yang baru saja dipecat, Martin Sixsmith, untuk menulis kisah ibunya ini. Sixsmith yang pada mulanya tidak tertarik, kemudian bersedia. Dan perjalanan pencarian putra yang hilang 50 tahun inilah yang kemudian bergerak menjadi jalinan cerita film ini.

Meskipun berpotensi menjadi film yang sangat melodramatis, namun Philomena terlihat tidak mau terjebak dalam kesedihan. Di sepanjang film, saya menemukan banyak kelucuan yang ditampilkan dari interaksi yang ‘tidak seimbang’ antara Philomena dan Martin. Philomena dengan keluguan seorang wanita tua Irlandia, dan Sixsmith seorang jurnalis senior yang telah kenyang pengalaman, memberikan suatu drama dua manusia yang unik. Film ini pun dengan pintarnya dibuka bukan dengan menampilkan Philomena, melainkan Sixsmith yang baru saja dipecat dan sedang berkonsultasi dengan dokternya.

Walau kisah pencarian Philomena berakhir sedih sebenarnya, namun ada banyak hal yang mampu kita pelajari dari perjalanan Philomena dan Sixsmith. Film ini berhasil mempertahankan keseimbangan nada, dengan menjaga tidak terlalu sentimental, tetap mampu menyuguhkan beberapa unsur komedi, dan yang paling penting adalah pesan-pesan moral yang disampaikannya. Di satu sisi, kerinduan dan kasih seorang ibu terhadap putranya menjadi hal yang menonjol, namun di sisi lain, sebuah kemenangan atau redemption secara moral juga dialami oleh Philomena, dan Sixsmith, pula.

Judi Dench dan Steve Coogan memerankan Philomena dan Sixsmith dengan sangat baik. Coogan yang ikut menulis skenario film ini, berhasil mendapatkan nominasi Oscar skenario terbaik. Dench juga memperoleh nominasi aktris terbaik lewat pembawaannya atas sosok Philomena. Kedua aktor ini memang dominan di film ini, sebab porsi kemunculan mereka berdua adalah yang paling besar di sepanjang film.

Philomena, sebuah film tentang sisi-sisi manusiawi manusia dengan kesan begitu mendalam. 9/10

 But I don’t wanna hate people. I don’t wanna be like you. Look at you. – Philomena