Kali ini Ulasan Film tidak mengulas film lepas seperti biasanya, tetapi sebuah serial televisi yang sangat terkenal, yakni Breaking Bad. Breaking Bad baru saja selesai tayang (keseluruhan 5 season) akhir tahun 2013 kemarin. Serial ini sangat heboh karena banyak sekali pujian yang disematkan padanya. Breaking Bad dianggap sebagai salah satu serial TV terbaik sepanjang masa. Terus terang berbagai pujian inilah yang membuat saya tertarik menontonnya. Maka setelah menyelesaikan Dexter, serial lain yang cukup panjang (8 season keseluruhan), dengan ending yang tidak terlalu memuaskan, akhirnya saya mulai perjalanan menonton Breaking Bad.

Breaking Bad diciptakan oleh penulis serial The X-Files, Vince Gilligan. Ide ceritanya menurut saya cukup kreatif, yakni seorang pria paruh baya jenius di bidang kimia (namun karena satu dan lain hal, hanya menjadi guru SMA) yang divonis kanker paru-paru stadium lanjut, memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan memproduksi narkoba meth (atau yang di Indonesia dikenal dengan shabu-shabu) agar keluarganya mempunyai cukup uang untuk melangsungkan hidup tanpa dirinya. Sebenarnya ide ini serupa dengan serial yang pernah ada, yakni Weeds, dan ini diakui sendiri oleh Gilligan, yang berkata jika ia mengetahui lebih awal bahwa sudah ada serial dengan tema serupa, ia sebenarnya tidak akan melanjutkan ide Breaking Bad ini. Namun untungnya, Breaking Bad tetap berjalan. Dan memang setelah menyelesaikan keseluruhan episodenya, saya merasa serial ini memang layak menyandang pujian sebagai salah satu serial terbaik, atau bahkan yang terbaik yang pernah ada.

Walter White, sang tokoh utama, diperankan dengan luar biasa oleh Bryan Cranston. Dengan segala energi, kharisma, ekspresi yang ia miliki, Bryan menjelma menjadi (dan membentuk) Walter White, yang mungkin akan menjadi salah satu tokoh dalam dunia film yang dikenang terus karena begitu fenomenal. Sesuai judulnya, Breaking Bad, garis plot membawa evolusi Walter White dari ‘putih’ menjadi ‘hitam’, atau menurut istilah Gilligan, dari ‘Mr. Chips’ menjadi ‘Scarface’. Kompleksitas karakter ini sungguh mengesankan. Saya sendiri merasa sangat bersimpati kepada Walt, walau jelas-jelas ia memutuskan sendiri untuk ‘breaking bad’, untuk merengkuh sisi jahatnya, dan membuang cahaya kebaikan dalam dirinya. Meski saya tahu apa yang ia lakukan tidak benar, namun cerita film ini mampu mengaduk-aduk emosi saya dengan ampuh, sehingga tetap memperlihatkan Walt sebagai seorang manusia seperti kita, bahkan mungkin sebagai sang wira, sang protagonis yang harus kita dukung.

Sisi manusiawi memang ditampilkan sangat kental dalam serial ini. Semua tokoh diperankan dengan kekuatan akting yang hebat dari para aktornya. Tidak ada tokoh yang benar-benar putih, banyak tokoh yang abu-abu, dan hitam, namun pada akhirnya mereka semua terlihat sangat manusia. Serial ini tidak memunculkan terlalu banyak karakter, hanya ada beberapa karakter utama, namun kesemuanya tertampil dengan kuat dan mantap. Lapisan demi lapisan masing-masing karakter bisa kita kupas dan telaah.

Sebagai sebuah seni, serial ini memiliki nilai produksi yang sangat tinggi. Sinematografinya sangat impresif. Setiap adegannya terkesan dibuat dengan detil, dan sanggup berbicara kepada kita dengan kuat. Dialog-dialog yang dituturkan sangatlah berkesan. “I am the one who knocks” akan menjadi sebuah kutipan yang akan terus terngiang dalam otak saya, dan masih banyak lagi. Musik yang mengiringi film ini tidak terlalu bombastis, namun sangat efektif. Yang juga mengesankan adalah adegan pendek di setiap awal episode, yang disajikan sebelum musik tema pembuka (yang juga sangat memorable). Adegan pendek ini selalu kreatif, stylish dan memberi nuansa tersendiri kepada episode tersebut. Kadang ia berupa preview kejadian di episode-episode berikutnya, kadang berupa tambahan penguat jalinan cerita, kadang juga cabang dari plot yang sedang berjalan.

Namun yang paling tidak habis-habis untuk bisa dibahas adalah tema cerita serial ini sendiri. Saya melihat Breaking Bad sangat menunjukkan hukum sebab-akibat. Apa pun yang kita lakukan, pilihan yang kita buat, seberapa pun kecilnya, memiliki akibat. Selain itu, tema terjepitnya seseorang oleh ekonomi, kesehatan, sehingga membuat ia mampu melakukan hal-hal yang di luar dugaan, juga bisa menjadi bahan diskusi panjang. Juga nilai dan tujuan hidup, eksistensi kita, terwakili oleh motivasi Walt untuk memproduksi meth. Saya jadi teringat tentang makna hidup yang dikatakan oleh Viktor Frankl, bahwa manusia perlu makna hidup. Walt pada mulanya menggantungkan diri kepada keluarganya, keluarganya yang memberi makna bagi hidupnya. Namun seiring perubahan psikologis yang ia pilih, nampaknya makna hidupnya bergeser menjadi ambisi pribadi, mirip dengan aktualisasi diri seperti yang dikatakan Abraham Maslow. Kondisi hidup Walt sebelum ia terjun ke dalam dunia kelam memang terasa kosong, terasa tidak bermakna. Ia seakan kemudian menemukan jati dirinya, menemukan bahwa ia berarti, lewat jalan kejahatan yang ditempuhnya. Belum lagi masalah moralitas, apa yang baik dan apa yang buruk, yang jahat dan yang suci, dalam serial ini semuanya tertampil dengan tidak mengada-ada, tapi secara gamblang menyatakan begitulah manusia.

Breaking Bad meninggalkan kesan mendalam bagi saya, sekaligus rasa rindu. Rindu kepada masing-masing tokohnya, rindu kepada suasananya, rindu kepada dunia yang ditampilkannya.  10/10

Who are you talking to right now? Who is it you think you see? Do you know how much I make a year? I mean, even if I told you, you wouldn’t believe it. Do you know what would happen if I suddenly decided to stop going into work? A business big enough that it could be listed on the NASDAQ goes belly up. Disappears. It ceases to exist, without me. No, you clearly don’t know who you’re talking to, so let me clue you in. I am not in danger, Skyler. I AM the danger. A guy opens his door and gets shot, and you think that of me? No! I am the one who knocks!