Film animasi terbaru dari Pixar, Coco, menghentak layar lebar di penghujung tahun 2017 ini. Meski proses produksi film ini sangat panjang (konon sejak 2011), namun tidak banyak berita mengenainya hingga mendekati rilis. Maka terasa film ini bagaikan kejutan di akhir tahun, sebab film ini begitu bagus dan bahkan lebih bagus dari rilis Pixar yang saya anggap paling bagus akhir-akhir ini, Inside Out.

Kembali menyuguhkan kisah dalam dunia manusia sepenuhnya (walau masih ada unsur fantasi di dalam Dia de Muertos / Day of the Dead), Coco mengangkat tema yang sangat kaya. Tema utama barangkali adalah tentang musik, tetapi ia tidak sekedar bicara tentang musik, melainkan mengenai hal yang lebih mendasar, yakni passion, keluarga, cita-cita dan mimpi, tekad, perjuangan, serta cinta. Dengan latar Meksiko, kita akan teringat pada film animasi dengan latar serupa, yakni The Book of Life. Tetapi Coco membawakan kisah yang jauh berbeda, dengan cakupan nilai positif yang lebih luas.

Tokoh utama film ini, Miguel, adalah seorang anak berusia dua belas tahun yang sangat menyukai dan berbakat dalam musik. Namun sayangnya, latar belakang keluarganya sangatlah anti terhadap musik, karena sejarah kakek buyutnya yang meninggalkan keluarga untuk mengejar cita-cita dalam dunia musik. Hendak lepas dari kekangan tradisi keluarga, pada hari tradisional Meksiko Dia de Muertos, terjadilah sebuah keajaiban, yakni masuknya Miguel ke dalam dunia para arwah. Di sini ia berkesempatan untuk bertemu dengan kakek buyutnya, dan mewujudkan apa yang ia cita-citakan. Petualangannya selama berada di dunia arwah ini mewarnai sebagian besar plot film, dengan beragam dinamika yang terjadi di dalamnya.

Sebagai film musikal, film ini tidak terasa musikal. Meski masih dihiasi bermacam lagu, tetapi ia tidak se’musikal’ film Disney lainnya seperti misalnya Frozen. Lagu-lagu yang dinyanyikan di sini memang adalah penampilan menyanyikan lagu, bukan sebagai ‘pengganti’ dialog dalam film. Dengan demikian, penonton yang kurang suka dengan format musikal klasik, mungkin bisa sedikit lebih lega. Dan jangan khawatir, meski kental dengan nuansa musik latin dan gitar, lagu-lagu yang disuguhkan semuanya enak didengar.

Seperti yang sudah saya katakan di atas, tema lain mengenai kemanusiaanlah yang pada akhirnya lebih mencuat di film ini. Tidak banyak film dengan adegan puncak yang membuat kita menangis haru (yang saya ingat mungkin hanya Departures dan Toy Story 3). Coco menyajikan sekuens final yang mengharu-biru. Bukan sedih, melainkan haru bahagia. Di sinilah kekuatan utama film ini. Ia tidak terlalu muluk, meski kental dengan nuansa fantasi. Ia tetap lekat dengan kehidupan sehari-hari, kehidupan keluarga, dengan kisahnya yang mungkin tidak jauh dengan apa yang kita alami dalam keluarga kita.

Sebagai produksi Pixar, tidak perlu kita ragukan lagi keindahan animasi yang dilukiskan. Setiap frame sarat dengan nilai estetika yang tinggi. Warna-warni dalam dunia arwah didesain dengan sangat mendetil. Pixar sekali lagi mengangkat derajat barometer animasi ke tingkat yang lebih tinggi. Mungkin kita dapat menyematkan pujian kepada Coco sebagai film animasi terindah yang pernah ada.

Satu hal yang mungkin mengganjal adalah tema Day of the Dead, mengunjungi dunia arwah itu sendiri. Tema ini mungkin kurang cocok bagi anak-anak yang masih kecil, karena make believe yang disampaikan cukup kuat.

Bila Anda menontonnya di bioskop, siap-siaplah untuk menonton pula film animasi pendek (yang tidak terlalu pendek, sebenarnya) sepanjang 21 menit yaitu Olaf’s Frozen Adventure yang dipasang sebelum film ini dimulai. Sebenarnya film ini tidak jelek-jelek amat, karena temanya cukup menyentuh. Tetapi terkesan terlalu bertele-tele, dan jalinan ceritanya kurang runtut. Jadi bagi Anda yang sering terlambat hadir di ruangan studio, Anda bisa terlambat dengan tenang.

10/10