Film horor yang menyentuh. Itulah kesan yang saya dapat setelah menonton A Quiet Place. Dan kesan menyentuh ini perlu dicetak tebal, karena memang sangat mendalam. Kita beruntung karena belakangan ini muncul beberapa film horor yang non-konvensional, berani menerobos batasan style genre tersebut. Misalnya saja Get Out, The Witch, The Wailing, dan yang terbaru adalah Hereditary. Film-film ini sudah pasti tergolong horor, namun mereka mempunyai efek seram yang tidak mengandalkan jump scares semata-mata. Film-film ini mampu membuat kita berpikir dan merenungkan makna yang disampaikannya.

A Quiet Place menceritakan tentang pasangan ayah dan ibu (diperankan oleh John Krasinski dan Emily Blunt, yang keduanya juga adalah sepasang suami istri, dan Krasinski menyutradarai film ini) dengan anak-anak mereka yang berupaya bertahan hidup dalam dunia di mana manusia nyaris musnah diburu makhluk-makhluk asing yang buta namun memiliki pendengaran super sensitif. Keluarga ini harus hidup dalam senyap, karena satu suara kecil saja dapat menghancurkan hidup mereka.

Cerita ini mengingatkan saya pada novel Bird Box (yang keren banget), yang memiliki setting serupa, tetapi makhluk yang dihadapi meneror menggunakan penglihatan (siapa yang melihat makhluk tersebut akan menjadi gila dan membunuh atau bunuh diri secara brutal). A Quiet Place berfokus pada indera pendengaran, dengan konsekuensi para karakternya tidak boleh bersuara. Bird Box berfokus pada indera penglihatan, dengan konsekuensi para karakternya harus menutup mata. Dan Bird Box juga diadaptasi menjadi film, yang dijadwalkan rilis akhir tahun ini. Kita lihat saja apakah ia juga bisa sebagus A Quiet Place.

Kembali ke A Quiet Place, secara sederhana plotnya dapat dikategorikan sebagai kisah survival di dunia apocalyptic. Tema ini sudah sangat sering diangkat di film. Yang membedakan A Quiet Place dengan film-film lain adalah penekanan pada nilai keluarga, atau lebih tepatnya parenthood. Kita dapat menelaah cerita film ini sebagai sebuah alegori atas tantangan, perjuangan dan pengorbanan orang tua dalam membesarkan anak. Mirip sebenarnya dengan Train to Busan, hanya saja A Quiet Place memiliki atmosfer yang lebih mencekam dan menegangkan (terutama karena kesunyian yang membuat penonton merasa tak aman).

Begitulah, karena minim suara, film ini efektif membangun rasa takut lewat kesenyapan. Kita tidak tahu apakah suara kecil yang sudah dibuat oleh karakter dalam film akan membuat para monster datang atau tidak. Inilah yang memberikan ‘rasa terancam’ nyaris di sepanjang film. Dan hal ini harus saya akui orisinil, tak pernah ada dalam film-film horor sebelumnya. Secara visual, sebenarnya film ini tidak menyuguhkan warna gelap dan suram (malah terkesan cerah). Tetapi justru dengan kontras visual yang cerah dan audio yang hening inilah, kengerian sukses merasuki penonton.

Minimnya dialog (dialog kebanyakan dilakukan dengan bahasa isyarat) tidak membuat para aktor kehilangan daya aktingnya. Mereka justru tampil dengan sangat meyakinkan. Nilai plus layak diberikan pada Emily Blunt, yang mampu memerankan perjuangan hidup mati seorang ibu dengan luar biasa. Kekuatan akting para aktor ini merupakan salah satu motor utama film ini. Hampir tidak adanya musik atau suara yang khusus, membuat akting merekalah yang menjadi daya penggerak film.

Pada akhirnya, kita bisa mendiskusikan berbagai tema atau kiasan yang mungkin tersirat dalam film ini. Tetapi saya sendiri merasakan kekuatan cinta dan kemanusiaanlah yang mencuat sebagai tema utama. Unik memang, kalau tema cinta harus disajikan dalam sebuah film horor yang mencekam. Tetapi barangkali memang itu diperlukan, sebab cinta belum lah berarti jika ia tidak diuji.

9/10