Wonder Woman (2017)
Salah satu pertanda film yang bagus (khususnya film superhero) bagi saya adalah munculnya perasaan senang dan terinspirasi setelah menontonnya. Wonder Woman adalah salah satunya. Dalam konteks yang lebih besar, film ini tidak hanya menginspirasi penontonnya, namun juga menjadi ‘harapan’ baru bagi DC Extended Universe (DCEU), yang setelah Batman v Superman: Dawn of Justice dan Suicide Squad dicela habis-habisan oleh para kritikus, menjadi suram masa depannya. Di tengah antisipasi Justice League (yang merupakan salah satu film andalan atau kulminasi DCEU), Wonder Woman muncul bak oasis di tengah gurun yang gersang, menyegarkan para penggemar (terutama yang bukan fanboy DC), bahwa masih ada secercah sinar bagi Justice League.
Setelah melalui proses yang panjang (bahkan jauh sebelum konsep DCEU dimulai), akhirnya film layar lebar yang mengangkat tokoh superhero wanita paling terkenal sepanjang masa ini sukses dirilis. Satu hal yang menjadi poin penting bagi film ini adalah sutradaranya juga adalah seorang wanita (yang sangat jarang terjadi di ranah film superhero atau film yang diangkat dari komik). Patty Jenkins yang sukses membesut Monster namun hiatus satu dasawarsa lebih dari kursi sutradara, kini kembali dengan karya yang mungkin akan menjadi salah satu landmark perfilman dengan genre superhero. Tak ayal, nuansa feminis yang kental mewarnai film ini. Barangkali sentuhan Patty Jenkins pula yang memberikan warna lain setelah kekelaman ala Zack Snyder dalam film-film DC sebelumnya mulai menurunkan greget DCEU. Dan memang, ada hal-hal yang di luar teknis CGI maupun kemeriahan dan keseruan aksi laga, yang kuat muncul di film ini dan tidak ada di film DCEU sebelumnya, yakni humor yang cerdas dan pas, serta inspirasi.
Di dunia yang masih patriarkal dan ranah perfilman yang mengandalkan dan memuaskan male gaze, aktris Gal Gadot tampil mengesankan sebagai Wonder Woman. Hujaman nada sumbang (yang kental unsur male gaze nya) saat pertama kali Gadot diumumkan menjadi pemeran Wonder Woman, yakni mengenai tubuh Gadot yang tidak proporsional sebagai Wonder Woman sebagaimana layaknya divisualkan dalam komik, mampu dijawab dengan akting yang baik dan aura feminin yang elegan nan kuat. Mungkin gaung feminisme terasa lewat sisi ini. Citra wanita superhero tetap dapat tampil dengan feminin, namun tidak mengorbankan dirinya menjadi male gaze. Walau tetap harus diakui bahwa Gadot adalah aktris yang cantik secara wajah.
Latar cerita yang mengambil setting Perang Dunia I pun menjadi satu hal yang menarik. Perang Dunia I tidak banyak dikenal orang karena mungkin kita lebih banyak menyaksikan tema-tema seputar Perang Dunia II diangkat ke layar lebar. Hal-hal yang menjadi ekses dari peperangan, serta penyebab terjadinya perang (yang tidak terlalu jelas dalam hal Perang Dunia I), mampu menambahkan elemen pemikiran pada jalinan cerita. Dan berbicara mengenai jalinan cerita, film ini tak akan berhasil tanpa interaksi yang kuat antara Gadot dan Chris Pine. Perpaduan Gadot dan Chris Pine (yang memerankan Steve Trevor), yang juga tampil impresif, membangun pondasi film ini dengan kokoh. Tidak hanya kontras antara pria-wanita, hal-hal oposisi seperti dewa-manusia, polos-rumit, idealis-realistis, lemah-kuat mampu ditampilkan dengan cantik dan cerdas lewat interaksi Gadot dan Pine.
Kemunculan sosok Diana Prince dengan kostum penuh sebagai Wonder Woman dengan gagahnya pertama kali di film ini benar-benar membuat kita merasa puas. Saya tidak ingat apakah ada film superhero lain dengan adegan seperti ini. Adegan ketika ia keluar dari parit perlindungan di lini depan Perang Dunia I ini niscaya akan selalu dikenang. Kewibawaan, kepolosan namun juga keperkasaan seorang hero tertampil dengan apiknya. Barangkali juga karena film ini dengan pintarnya menggoda dan memaksa kita untuk bersabar hingga momen yang sempurna bagi Wonder Woman dengan kostumnya muncul mengguncang layar. Perasaan ini mungkin bisa disamakan dengan ketika pasukan berkuda Rohirrim tiba di Pelennor Fields dalam The Lord of the Rings: The Return of the King. Koreografi laga dan adegan-adegan pertempuran yang disajikan juga sangat baik dan tidak membosankan. Pemilihan momen-momen slow motion terasa sangat pas dan memberikan kesan dramatis yang tidak terlalu diumbar.
Seperti yang dikatakan para kritikus pada umumnya, kelemahan film ini tampak pada bagian akhir. Tidak cukup banyak kejutan yang ditampilkan. Sosok Ares yang sebenarnya bisa tampil dengan unsur surprise lebih banyak, ternyata tidak sebegitunya. Walau demikian, secara keseluruhan kita dapat memaklumi dan dapat mencerna pesan moral yang dituangkan dalam momen-momen klimaks film.
Pada akhirnya, Wonder Woman adalah sebuah film yang mengembalikan kepercayaan kita kepada kebaikan dan cinta yang masih tersisa di tengah kemelut dan kejahatan di dunia ini. Pun ia mengembalikan kepercayaan para penggemar terhadap DCEU. Kita nantikan aksi Wonder Woman berikutnya dalam Justice League, dan semoga, sekuel Wonder Woman sendiri. 8/10
Recent Comments